Rabu, 30 April 2014

Polygami

Hmm.. ada apalagi dengan POLIGAMY..??
 21/11/2011 ·



 Bismillahirrohmanirokhim:
 Perbedaan Pandangan mengiringi ICON Polygamy.
 Dalam hal ini beragam pandangan ulama (disini saya tidak akan menjelasan perbedaan pandangan ulama kecuali ada yang mempertanyakan hat tersebut).
 Dalam catatan ini saya bukan akan men-vonis / setuju atau tidak setuju dengan system Pligamy..namun marilah kita mengambil hikmah semua ini dengan niat menambah wawasan serta ilmu. Semoga dengan bertambahnya ilmu akan lebih bijak dalam menyikapi sebuah masalah.
 Tulisan ini diharapkan dapat mengantarkan pada pemahaman yang tepat tentang hal itu, sehingga kita dapat mendudukkannya pada posisi yang sebenarnya dan yang seharusnya ada menurut tuntunan agama, kita tidak apriori menyetujui atau menolak poligami tanpa pengetahuan yang mendasari HAL itu.
 Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
 Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
 Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
 Bagaimana dengan anggapan berpoligami adalah sunnah Rasul?
 Tidak bisa dikatakan bahwa Rasul SAW menikahi lebih dari satu perempuan dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani. Karena, tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudlu beliau bila tertidur? Selanjutnya perlu dipertanyakan buat mereka yang beranggapan poligami adalah sunah Rasul SAW. ''Apakah benar mereka benar-benar ingin meneladani Rasul SAW dalam pernikahannya? ''
 Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadari Rasul SAW baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah RA. Kita ketahui Rasul SAW menikah dalam usia 25 tahun, 15 tahun setelah pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini wafat pada tahun ke-10 kenabian Beliau. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Lalu setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Khadijah RA, baru beliau menggauli Aisyah RA yakni pada tahun kedua atau ketiga Hijriyah, sedang beliau wafat dalam tahun ke-11 Hijriyah dalam usia 63 tahun.
 Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa mereka yang bermaksud meneladani Rasul SAW itu tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon istri yang telah mencapai usia senja? Semua istri Nabi SAW selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun? Di samping itu, mengapa mereka tidak meneladani beliau dalam kesetiaannya yang demikian besar terhadap istri petamanya, sampai-sampai beliau menyatakan kecintaan dan kesetiaannya walau di hadapan istri-istri beliau yang lain?
 Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).
 Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan.

 Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Tuhan – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri..

 Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.

 Saya tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun saya menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.

 Semoga tulisan ini menjadi renungan bersama dengan harapan terciptanya keluarga SAMIRA (Sakinah, Mawaddah n Warohmah) atas kesalahan serta kehilafan ini saya mohon maaf sebesar besarnya.
 Jazakumullah Ahsana Jazaa..& Barokallahu Fickum Wa Ahlikum…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar